Opini  

Yang Tak Terlihat, Tapi Nyata di Negeri ini

Kuninganglobal — Di atas sebidang tanah kosong, tepat di antara rel kereta api dan bantaran kali, berdirilah sebuah perkampungan kumuh. Terletak tak jauh dari jalan utama menuju kawasan kota, perkampungan ini menyuguhkan pemandangan yang memprihatinkan—deretan gubuk reyot milik masyarakat miskin, kebanyakan pemulung. Sebenarnya, menyebutnya rumah pun terasa berlebihan; yang tampak hanyalah bangunan-bangunan darurat dari triplek dan papan tak beraturan, disangga kayu lapuk yang tertancap di dasar kali.

Deretan gubuk ini memanjang hingga hampir satu kilometer. Letaknya persis di tepi jalan, sehingga siapa pun yang melintas—bahkan presiden sekalipun—tak mungkin luput dari pemandangannya. Tapi entah mengapa, kebanyakan orang seolah tidak melihat. Apakah gubuk-gubuk itu dianggap tak penting? Atau barangkali, mereka disamakan dengan tumpukan sampah yang tak layak diperhatikan?

Padahal, di dalam gubuk-gubuk itu hidup keluarga-keluarga yang setiap hari berjibaku dengan kekurangan. Mereka adalah bagian dari kita, warga negara yang seharusnya berhak atas kehidupan layak.

Memasuki kawasan itu, mata kita akan menangkap suasana yang jauh dari kata aman. Di depan deretan rumah, terdapat tiga jalur rel aktif yang setiap beberapa menit dilewati kereta api. Di belakangnya, mengalir kali yang nyaris tak tampak airnya karena tertutup sampah. Warnanya gelap, baunya menusuk, dan airnya nyaris sejajar dengan jalan raya, hanya dibatasi beton penahan. Setiap musim hujan tiba, banjir adalah keniscayaan.

Salah satu rumah di tengah perkampungan itu milik Ibu Leha. Ia tinggal di sana sejak kecil, mengikuti jejak orang tuanya yang merantau dari Banten. Kini ia tinggal bersama suami dan ketiga anaknya di gubuk serupa, berdempetan dengan rumah lain. Ukurannya sempit, hanya sekitar 3-5 meter panjangnya. Di depan rumahnya—tak sampai satu meter—rel kereta api melintas.

Baca Juga:  Memikat Hati Peserta Didik

Ibu Leha menjalani hidup seadanya. Suaminya seorang pemulung dengan penghasilan harian Rp20.000 – Rp30.000. Ia sendiri hanya lulusan SD dan tidak bekerja, karena minimnya pendidikan dan peluang kerja. Setiap hari ia menjaga anak-anaknya di rumah, memakai kaos lusuh dan celana sederhana, menua sebelum waktunya.

Kebutuhan air bersih pun harus dibeli. Dua jeriken air bersih seharga Rp4.000 cukup untuk minum dan memasak, sementara untuk mandi dan mencuci mereka terpaksa menggunakan air dari sumber yang tidak layak.

Anak-anak bermain di depan rumah, tepat di atas rel kereta api yang aktif. Mereka hafal jam-jam kereta melintas, karena tempat bermain yang aman tidak tersedia. Kadang, mereka juga bermain di kali belakang rumah, memancing sampah dengan batang kayu. Padahal, satu langkah terpeleset bisa membawa mereka ke dalam arus kotor yang berbahaya.

Sarana dan prasarana di kampung ini amat memprihatinkan. MCK nyaris tak ada. Yang tersedia hanyalah bilik dari triplek dengan lubang yang langsung mengarah ke kali. Listrik pun bukan milik sendiri—mereka menyambung dari gedung atau perumahan terdekat, dengan membayar sekitar Rp40.000 per bulan.

Ironisnya, hanya beberapa kilometer dari situ berdiri pusat-pusat pemerintahan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat. Namun kenyataannya, di balik megahnya gedung-gedung baru dan proyek infrastruktur, masih banyak warga yang tak diakui keberadaannya. Mereka bukan tontonan, bukan sampah yang bisa diabaikan. Mereka adalah manusia, warga negara yang punya hak hidup layak.

Pembangunan boleh terus berjalan, tapi jangan abaikan yang tertinggal. Mereka—seperti Ibu Leha dan keluarganya—ada dan nyata di negeri ini. Mereka menunggu pengakuan, perhatian, dan perubahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Depo 25 Bonus 25

Mahjong Slot

https://koleksi.upmk.ac.id/lib/mahjong/