Opini  

Ubah Diri atau Ubah Lingkungan? Psikologi Pendidikan Islam Punya Jawabannya

Kuninganglobal — Di tengah realitas pendidikan yang terus berubah, baik karena teknologi maupun nilai sosial yang bergeser, ada dua pertanyaan penting yang muncul: ketika kita menghadapi lingkungan yang tidak ideal, haruskan kita mengubahnya? Atau justru menyesuaikan diri? Psikologi punya dua istilah menarik untuk menjawab dilema ini: alloplastis dan autoplastis.

Alloplastis berarti upaya mengubah lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan diri. Sementara autoplastis, kebalikannya—yaitu usaha mengubah diri sendiri agar bisa menyesuaikan dengan lingkungan. Keduanya adalah bentuk adaptasi. Dan dalam kerangka psikologi pendidikan Islam, dua konsep ini tidak hanya logis secara psikologis, tetapi juga selaras dengan ajaran spiritual Islam.

Islam mengajarkan keseimbangan. Kita didorong untuk aktif menegakkan amar ma’ruf nahi munkar—mengubah kondisi sosial yang menyimpang. Tapi di sisi lain, kita juga diajak untuk terus melakukan tazkiyatun nafs—membersihkan dan memperbaiki diri. Artinya, perubahan eksternal dan internal bukan pilihan yang harus dibenturkan, melainkan dua sisi dari proses yang saling melengkapi.

Mari lihat dalam konteks pendidikan. Seorang pendidik yang menerapkan prinsip alloplastis akan berani mendorong reformasi kurikulum, memperjuangkan budaya sekolah yang lebih islami, atau menyuarakan nilai kebaikan di tengah lingkungan yang permisif. Ini adalah bentuk keberanian untuk mengubah lingkungan secara aktif, sebagaimana sabda Nabi: “Jika kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu…” (HR. Muslim).

Namun keberanian semacam itu tidak boleh menghilangkan kesadaran diri. Di sinilah autoplastis berperan. Pendidik maupun peserta didik juga harus terbiasa dengan muhasabah, introspeksi, dan perjuangan melawan hawa nafsu. Menyesuaikan diri bukan berarti menyerah, tetapi menunjukkan ketangguhan batin. Apalagi Islam sendiri mengingatkan bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Baca Juga:  Protokol Kesehatan Diabaikan, Apa Kata Covid?

Lalu, bagaimana implikasinya dalam praktik pendidikan kita hari ini?

Pertama, kita butuh pendekatan yang holistik. Pendidikan Islam harus mampu mendorong peserta didik untuk berpikir kritis dan berani memperjuangkan nilai, sekaligus membina kesadaran spiritual agar mereka tak kehilangan arah saat lingkungan sulit diubah.

Kedua, guru harus tampil sebagai teladan. Bukan hanya pandai bicara soal moral, tapi juga mampu menunjukkan bagaimana menyeimbangkan antara mengubah sistem dan mengubah diri. Keteladanan semacam inilah yang akan lebih membekas di hati siswa dibanding ceramah panjang lebar.

Ketiga, kurikulum harus berporos pada nilai. Kita perlu sistem yang mendukung siswa menjadi agen perubahan, tapi juga mendalamkan makna belajar sebagai proses memperbaiki diri.

Pada akhirnya, konsep alloplastis dan autoplastis bukanlah teori psikologi belaka. Dalam perspektif Islam, keduanya adalah strategi hidup. Islam tidak meminta kita menjadi ekstrem di satu sisi—hanya sibuk menyalahkan keadaan atau hanya fokus pada diri sendiri. Kuncinya adalah harmoni. Ubah diri saat perlu, ubah lingkungan saat mampu. Karena pendidikan bukan sekadar soal transfer ilmu, tapi soal membentuk manusia yang cerdas secara intelektual, tangguh secara spiritual, dan peka terhadap perubahan.

Oleh: Dr. Aep Saepudin, M.Pd.I (Dosen Prodi PGMI UNISA Kuningan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Depo 25 Bonus 25

Mahjong Slot

https://koleksi.upmk.ac.id/lib/mahjong/