Kuninganglobal — Pendidikan karakter selalu jadi bahan diskusi yang seakan tak ada habisnya. Sekolah dianggap punya tanggung jawab besar dalam membentuk moral anak-anak, tapi di sisi lain, guru dan tenaga pendidik kerap mengeluh bahwa mereka tidak bisa bekerja sendirian. Sementara itu, orang tua sering kali lebih sibuk dengan pekerjaan dan urusan rumah tangga. Akibatnya? Pendidikan karakter jadi sesuatu yang diserahkan begitu saja ke sekolah, tanpa ada peran aktif dari keluarga dan lingkungan.
Dr. Dodi Ahmad Haerudin, M.Pd.I., dosen psikologi pendidikan di Universitas Muhammadiyah Kuningan, menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan karakter tidak bisa bergantung pada sekolah saja. “Sekolah memang berperan penting, tetapi tanpa dukungan orang tua dan lingkungan, pendidikan karakter tidak akan maksimal,” ujarnya.
Pernyataan ini sejalan dengan teori Thomas Lickona, yang mengatakan bahwa pendidikan karakter membutuhkan tiga pilar utama: sekolah, keluarga, dan masyarakat. Anak-anak tidak bisa hanya belajar soal moral di kelas, lalu pulang ke rumah tanpa arahan, atau tumbuh di lingkungan yang tidak mendukung nilai-nilai baik. Kalau hanya sekolah yang bekerja, hasilnya akan setengah-setengah.
Masalah lain datang dari sistem pendidikan kita sendiri. Bimbingan Konseling (BK) di sekolah masih sering dianggap sebagai ruang hukuman. Ketika ada anak bermasalah, baru mereka dipanggil ke ruang BK. Pendekatan seperti ini, menurut Dr. Dodi, sudah ketinggalan zaman. Seharusnya, BK lebih aktif turun ke lapangan, berinteraksi langsung dengan peserta didik, dan memahami kondisi mereka di luar ruang kelas.
Pandangan ini sesuai dengan teori Stephen R. Covey, yang menekankan bahwa karakter terbentuk dari kebiasaan yang dilakukan secara konsisten. Artinya, jika anak hanya mendapatkan teori moral di sekolah tanpa praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai itu tidak akan tertanam dengan baik.
Tapi, tantangan terbesar dalam pendidikan karakter justru ada di rumah.
“Banyak orang tua yang terlalu sibuk, pengawasan terhadap anak jadi longgar. Akibatnya, anak lebih banyak belajar dari internet dibanding dari keluarga sendiri,” ujar Dr. Dodi.
Di era digital ini, anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu dengan gawai daripada berbicara dengan orang tua mereka. Informasi yang mereka dapatkan tidak selalu positif. Mulai dari budaya instan, individualisme berlebihan, hingga konten yang jauh dari nilai-nilai moral yang ingin ditanamkan di sekolah.
Ironisnya, ketika anak mulai menunjukkan perilaku menyimpang, orang tua sering kali buru-buru menyalahkan sekolah. Padahal, sekolah hanya punya waktu beberapa jam sehari untuk mendidik mereka, sementara selebihnya mereka berada di rumah dan lingkungan.
“Karakter anak itu bukan hanya hasil dari apa yang diajarkan di sekolah, tetapi juga dari kebiasaan di rumah. Kalau orang tua tidak ikut serta dalam proses ini, pendidikan karakter akan pincang,” tambah Dr. Dodi.
Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah membangun komunikasi yang lebih intens antara sekolah dan orang tua. Sayangnya, komunikasi ini masih sering bersifat formal. Hanya terjadi saat ada rapat atau ketika anak bermasalah.
“Orang tua sering datang ke sekolah hanya kalau ada masalah. Padahal, komunikasi harus berjalan terus-menerus agar ada keselarasan dalam mendidik anak,” ujarnya.
Teori Lickona kembali relevan di sini. Pendidikan karakter hanya bisa efektif jika ada kesinambungan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Jika di sekolah anak diajarkan kedisiplinan, tapi di rumah mereka dibiarkan bebas tanpa aturan, maka pesan moralnya akan menjadi kabur.
Selain sekolah dan keluarga, lingkungan sosial juga memainkan peran besar dalam membentuk karakter anak.
“Anak bisa belajar kejujuran di sekolah, tapi kalau lingkungan sekitarnya permisif terhadap kebohongan dan korupsi kecil-kecilan, mereka akan bingung mana yang benar,” kata Dr. Dodi.
Masalahnya, masyarakat sering kali tidak merasa bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter anak-anak. Banyak yang menganggap itu urusan sekolah dan orang tua. Padahal, anak tumbuh dan berkembang dalam interaksi sosial yang lebih luas. Jika lingkungan sekitar mereka permisif terhadap perilaku buruk, maka nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter seharusnya menjadi perhatian bersama. Pemerintah, komunitas lokal, dan tokoh masyarakat perlu menciptakan ekosistem sosial yang mendukung tumbuh kembang anak-anak. Program kepemudaan, kegiatan sosial, dan kebijakan yang pro-pendidikan karakter harus menjadi bagian dari solusi.
Jadi, kalau ada pertanyaan, “Tanggung jawab siapa pendidikan karakter?” Jawabannya jelas: tanggung jawab kita semua.
Sekolah harus lebih proaktif dalam membangun pendekatan yang lebih adaptif, orang tua harus lebih peduli dalam mendidik anak di rumah, dan lingkungan sosial harus menjadi tempat yang mendukung nilai-nilai positif.
Pendidikan karakter bukan sekadar proyek jangka pendek, melainkan investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang berintegritas, berempati, dan bertanggung jawab.
Kalau kita tidak mulai peduli sekarang, kita akan menghadapi generasi yang kehilangan arah. Dan saat itu terjadi, siapa yang mau disalahkan?
Oleh: Dr. Dodi Ahmad Haerudin, M.Pd.I (Dosen UM Kuningan)