Opini  

Altruisme Tak Hanya Etika, Tapi Ibadah dan Tanggung Jawab Sosial

Kuninganglobal —- Dalam dunia yang makin individualistik, di mana keberhasilan kerap diukur dari seberapa banyak yang bisa diraih untuk diri sendiri, nilai-nilai seperti altruisme sering terdorong ke pinggir. Padahal, dalam Islam, altruisme bukan sekadar tindakan sosial yang baik, tapi merupakan cermin keimanan dan bentuk ibadah.

Altruisme, atau sikap peduli dan mendahulukan kepentingan orang lain tanpa pamrih, dalam psikologi disebut perilaku prososial. Dalam Islam, ia disebut itsar—dan lebih dari sekadar tindakan etis. Itsar adalah pilihan sadar yang dilandasi keikhlasan, bahkan ketika pelakunya sendiri dalam kesulitan.

Al-Qur’an menyebutnya dengan gamblang dalam QS. Al-Hasyr ayat 9, saat menggambarkan ketulusan kaum Anshar terhadap para Muhajirin. Mereka yang “mengutamakan orang lain atas dirinya sendiri, meskipun mereka dalam kesusahan” disebut sebagai orang-orang yang beruntung. Di sini, altruisme bukan hanya soal empati, tapi kemenangan spiritual atas egoisme.

Dalam konteks pendidikan Islam, ini mestinya menjadi fokus utama. Nilai-nilai seperti altruisme bukan ditanamkan lewat hafalan semata, tapi lewat keteladanan, pembiasaan, dan pengalaman konkret. Sayangnya, pendidikan kita—baik formal maupun informal—masih sering terjebak dalam kompetisi, bukan kolaborasi; dalam mengejar ranking, bukan karakter.

Padahal Rasulullah SAW, yang menjadi model pendidikan Islam, menunjukkan contoh altruisme dalam kehidupan nyata. Dalam hadis populer disebutkan: “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” Ini bukan nasihat biasa—ini adalah standar keimanan.

Lantas, bagaimana altruisme bisa ditanamkan di sekolah-sekolah kita hari ini? Jawabannya tidak bisa instan. Ia butuh sistem yang memanusiakan, bukan hanya mengevaluasi. Ia butuh ruang-ruang berbagi, bukan sekadar lomba siapa tercepat menghafal. Ia butuh guru-guru yang bukan hanya pandai berkata, tapi rela berbagi—waktu, empati, bahkan sebagian hidupnya untuk murid-muridnya.

Baca Juga:  Pembelajaran Tatap Muka Tak Senyaman Dulu Sebelum Pandemi

Kita bisa belajar dari kisah Abu Bakar yang menyerahkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam, atau Utsman bin Affan yang membiayai pasukan di medan perang. Tapi tanpa ruang untuk membumikan kisah-kisah itu dalam praktik sosial di lingkungan pendidikan, altruisme akan tinggal cerita.

Altruisme bukan ajaran baru. Tapi ia akan selalu relevan. Terutama saat dunia makin kehilangan rasa cukup, dan manusia makin miskin empati. Pendidikan Islam yang sejati semestinya tidak hanya menghasilkan lulusan yang pintar, tapi juga yang peka, peduli, dan tidak lelah untuk memberi.

Karena pada akhirnya, membentuk masyarakat berkeadaban bukan dimulai dari teknologi, kurikulum, atau infrastruktur. Tapi dari hati yang bersedia memberi, bahkan saat tak punya apa-apa lagi.

Oleh: Dr Aep Saepudin (Dosen Universitas Islam Al-Ihya Kuningan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Depo 25 Bonus 25

Mahjong Slot

https://koleksi.upmk.ac.id/lib/mahjong/