Kuninganglobal.com — Istilah radikalisme seringkali dimaknai sebagai upaya perubahan dalam hal berpikir dan bertindak yang dilakukan dalam skala besar untuk mencapai sebuah tujuan dengan menggunakan kekerasan yang seringkali ditunjukkan dengan sikap intoleran terhadap kelompok yang bertentangan dengan cara pandang mereka (Anwar & Hayati, 2021).
Mengutip dari buku Radikalisme dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis (2019), radikalisme memiliki beberapa ciri, yaitu penolakan secara terus menerus atau menuntut perubahan secara ekstrem, biasanya menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai keinginannya, dan penganutnya memiliki keyakinan kuat jika paham atau anggapan yang berbeda dengannya adalah hal yang salah.
Adanya paham radikalisme memiliki beberapa kualifikasi. Hal ini dinyatakan (Noor, 2019) bahwa paham radikalisme memiliki kualifikasi yakni; Radikalisme dalam tataran pemahaman dan Paham radikalisme dalam tataran tindakan praktis. Paham radikalisme dalam tataran pemahaman bukanlah sesuatu yang muncul secara instan, melainkan muncul melalui proses komunikasi dengan orang lain yang dikhawatirkan sudah terdeteksi dengan radikal. Jika paham radikalisme pemahaman ini tidak diantisipasi, maka tidak mustahil akan berdampak kepada tindakan praktis yang menimbulkan kekacauan dan kerusakan di masyarakat.
Belakangan ini, bibit-bibit radikalisme sudah mulai menyasar ke semua aspek usia, pekerjaan, maupun di tanah pendidikan sekalipun. Paham radikalisme yang mulai mengarah kepada pelajar/mahasiswa yang notabene adalah kaum remaja dan secara psikologi masih dalam tahap perkembangan dan transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa sangat rentan dengan krisis identitas, terlebih pada usia ini masih dalam fase pencarian jati dirinya.
Pendidikan agama Islam di institusi pendidikan seperti sekolah, universitas/perguruan tinggi seyogyanya mampu mengajarkan toleransi dan ajaran kasih sayang kepada sesama manusia. Namun sebaliknya, Pendidikan agama Islam di institusi pendidikan belakangan ini malah menjadi potensi munculnya bibit radikalisme. Bibit radikalisme ini muncul jika ada individu di suatu institusi pendidikan seperti guru, dosen atau peserta didiknya telah terpapar dengan ajaran radikalisme.
Sebagai contoh radikalisme yang terjadi di institusi pendidikan adanya pendidik yang mengesampingkan nilai-nilai multikultural dengan tidak mempertimbangkan dan menghargai keberagaman atau intimidasi kepada peserta didik. Hal ini terjadi oleh salah satu pendidik yang juga merupakan salah satu pembina ROHIS disekolah yang melakukan intimidasi kepada siswi yang tidak berhijab melalui pesan whatsapp.
Hijab dalam pandangan Islam merupakan suatu kewajiban seorang muslimah untuk menutup auratnya, namun apakah dibenarkan apabila bentuk dakwah terkait penggunaan hijab dilakukan secara paksa dan melanggar kebebasan orang lain?. Sebagai penulis awam tentu saya sangat khawatir karena dengan hal tersebut akan memperburuk citra Islam di mata agama lain, juga merupakan tindakan kriminalitas dalam bentuk ancaman kekerasan verbal. Lalu, kemudian saya bertanya kepada para pembaca khususnya mahasiswa STKIP Muhammadiyah Kuningan, Apakah ada radikalisme yang dilakukan baik itu oleh pendidik kepada peserta didik, peserta didik kepada pendidik atau peserta didik dengan peserta didik?
Penulis : Dudi IrawanW
Wakil Ketua HIMA PGSD STKIP Muhammadiyah Kuningan 2022-2023 – Aktif juga di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Abdul Malik Fadjar Cabang Kuningan