Malam berikutnya kejadian serupa terulang kembali. Dia melakukannya tanpa henti, aku tak bisa berbuat apa-apa. Dia gila! Tuhan, selamatkan aku ….
“Kumohon … hentikan …,” ucapku lirih.
Meskipun berkali-kali aku memohon, dia tak mengindahkannya. Dia terus melakukan hal bejat itu padaku.
Ceklek.
“Dasar laki-laki, br*ngs*k!”
Aku dan dia tersentak saat mendapati suaru ibu. Aku menangis, akhirnya ibu sampai di rumah.
“Ibu … tolong,” gumamku lirih, kulihat beliau menangis setelah melihat keadaanku.
“Maksudmu apa memperlakukan putriku seperti ini, huh?!” teriak Ibuku kalap.
Dengan kesadaran yang mulai menipis, kulihat ibu menamparnya dengan membabi buta. Pria itu bergeming, tak mengatakan untuk sekadar menjelaskan.
Kemudian Ibu menghampiriku, ia menangis tersedu-sedu melihat keadaanku yang kacau ini. Kemudian ia menatap pria yang tengah memakai pakaiannya kembali.
“Sekarang kau pergi dari rumahku!” murkanya seraya menunjuk daun pintu yang terbuka. “Akan kuurus surat perceraian kita secepatnya!”
Setelah Ibu mengatakan itu, penglihatanku semakin memburam, dan kemudian gelap.
~oOo~
Aku meringis saat akan menggerakan tubuhku. Dengan sigap Ibu menghampiri dan membantuku. Kulihat sekeliling, dan ternyata berada di rumah sakit. Kemudian pandanganku tertuju pada Ibu yang tengah memandangku dengan linangan air mata.
“Mina … maaf’ kan, Ibu, Nak!” Ibu menutup kedua wajahnya dengan tangan, punggungnya bergetar.
Aku tersentuh, setitik air mata jatuh bebas. “Tak apa, Bu. Ini sudah terjadi.”
Kuraih kedua tangan yang menutupi wajahnya kemudian memeluknya.
“Sebenarnya aku sudah pernah bertemu dengan dia, Bu,” gumamku dalam pelukannya.
Ibu mengurai pelukan dan menatapku penuh tanda tanya. Ia menyeka sisa air mata di wajahnya dan bertanya, “Kenapa tak memberi tahu, Ibu?”
Aku menunduk, setetes air mata jatuh di atas punggung tanganku. Kemudian kembali mendongak menatapnya. “Ibu ingat beberapa bulan lalu aku menceritakan seseorang yang mengikutiku?”
Ia tampak menyernyit, kemudian menutup mulutnya. Air mata kembali keluar.
“Maaf, maaf … Ibu bukanlah Ibu yang baik. Maaf telah mengabaikanmu, Nak. Ibu buta oleh rasa cinta sejak bertemu dengan pria itu, karena ibu merasa kesepian. Maaf’ kan Ibu yang hanya mementingkan ego saja!” Ibu kembali memelukku.
“Semuanya sudah terjadi, Bu.” Beliau semakin keras menangis. “Jadikan ini sebagai pelajaran untuk masa depan.”
Ibu mengurai pelukkannya. “Iya, Sayang. Mulai saat ini Ibu akan lebih fokus terhadapmu!” katanya dengan menarik sudut bibirnya.
“Tempat ternyaman untuk kembali adalah rumah. Tempat terbaik untuk mengadu adalah keluarga.”
Sebaik-baiknya anak adalah bagaimana orangtua itu sendiri yang mengajarinya. Bukan hanya itu, perhatian pun penting agar anak merasa dihargai dalam suatu keluarga. Yang dibutuhkan anak bukan soal seberapa banyak uang yang diberi, tetapi seberapa banyak kasih sayang yang diberikan orang tuanya.
Banyak sekali anak yang menjadi korban keegoisan orang tua mereka, tak jarang pula mereka lebih memilih terjerumus ke dalam lubang hitam. Maka dari itu peran orang tua sangat penting. Rumah yang nyaman bukan seberapa megah rumah itu, tetapi seberapa harmonisnya keluarga itu.Dan jadikanlah rumah sebagai tempat pulang paling aman.
“Jadikanlah masa lalu sebagai guru masa depan. Tanpa menengok ke belakang, kita tak akan bisa belajar apa-apa.” — Mina.