Untuk Chapter2 silahkan baca disini.
Siang menjadi malam, Ibu mengajakku untuk ikut mengantarnya ke bandara. Namun, aku beralibi akan mengerjakan tugas. Lebih memilih berdiam di rumah, takut jikalau dia berbuat macam-macam setelah mengantar ibu ke bandara.Entahlah, rasanya was-was tinggal bersama ayah tiriku itu.
Ketukan pintu membangunkanku yang sudah lama terlelap. Setengah sadar kubuka pintu kamar itu. Aku tersentak tiba-tiba seseorang memelukku. Sial! Aku lupa bahwa di rumah hanya ada aku dan ayah tiriku.
“Lepaskan aku!” Aku mendorong tubuhnya hingga dia mundur beberapa langkah.
“Hahaha … kini hanya ada kita berdua, Sayang. Sudah lama Ayah menginginkanmu. Dan ibumu dengan bodohnya termakan ucapanku!” jelasnya.
Aku menangis, kemudian menggeleng kuat saat mendapati dirinya melangkah semakin dekat. Aku beringsut mundur hingga terpojok di sudut ruangan. Dia terkekeh sinis, kemudian mencengkram lenganku kuat, semakin kuberontak semakin dia memperlakukanku dengan kasar. Kemudian dia memukul tengkukku. Aku tidak boleh pingsan, aku harus kabur dari sini. Setengah sadar dia mulai menjalankan aksinya, dengan kekuatan yang tersisa aku memberontak.
“Ahh … mungkin ini akan berjalan lama. Satu hal yang perlu kau tahu, aku mengidap penyakit hypersexual,” ungkapnya.
Aku menggeleng tidak percaya, lalu menangis sejadi-jadinya bersamaan rasa sakit di bawah sana. Dasar pria g*la! Sampai semuanya menjadi gelap.
Sinar matahari membangunkanku, aku meringis saat menggerakan persendian ini. Sampai kejadian semalam terlintas dalam pikiranku.
“Dasar kepar*t!” Tangisku pecah.
Tak peduli dengan rasa sakit di sekujur tubuh, aku berjalanterseok-seokke kamar mandi. Membasahi tubuh di bawah shower. Menggosok seluruh tubuh berusaha menghilangkan jejak semalam. Namun, tak berefek sama sekali, memori itu terus menerus berputar, dadaku semakin sesak, kupukul berkali-kali untuk menghilangkan sakitnya, tapi tak kunjung hilang.
Bagaimana nasib masa depanku? Apa yang harus kulakukan? Apa dengan menceritakan kejadian ini ibu akan percaya, ibu akan mendengarku? Memikirkannya membuat hatiku semakin sakit, entah apa yang bisa mengurangi rasa sakitnya. Setelah itu aku bergegas mengenakan baju, mencari sesuatu yang bisa mengurangi rasa sakitku. Saat kubuka laci dan menemukan cutter, kuraih benda itu, tanpa babibu langsung kuiris kulit lengan kiriku. Terasa panas dan perih, namun memberikan efek yang luar biasa, setidaknya untuk mengurangi rasa sakit yang kupendam sendiri ini.
Setelah mengobati luka yang kubuat, seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Mina, ibumu menelepon dan ingin tahu kabarmu!” ucap ayah di balik pintu.
Dengan ragu aku membuka pintu dan mendapati dirinya yang menyeringai ke arahku. Tubuhnya dicondongkan ke arahku dan aku mundur satu langkah.
“Jangan ceritakan kejadian semalam pada ibumu. Atau kau tau akibatnya, Sayang!” Ancamnya dengan menekan kata-kata terakhir.
Aku mengangguk kaku, lalu dia kemberikan ponselnya padaku.
“Halo, Mina. Bagaimana kabarmu sayang?”
Aku menatap sekilas ayah yang bersandar di bibir pintu.
“Aku baik-baik saja, Bu. Ibu kapan pulang?”
“Dua hari lagi. Karena ada beberapa hal yang perlu ibu selesaikan di sini.”
Aku mendesah kecewa. “Segeralah pulang ….” ucapku lirih.
Terdengar di ujung sana ibu terkekeh kecil.
“Tenanglah, Mina. Di sana kau aman bersama ayahmu.”
Aku tersenyum sinis, aman katanya?
“Sudah dulu, ya, Bu. Ada sesuatu yang mau kuurus.”
Lalu aku memberikan ponsel itu padanya. Kemudian dia melenggang pergi dari depan kamarku. Huft … syukurlah.