Karya: Ikhsan Ganda Saputra (Mahasiswa STKIP Muhammadiyah Kuningan)
Aku berjalan di trotoar, pinggir jalan raya kota Kuningan depan gedung bupati. Langkah demi langkah aku nikmati. Suasana pagi itu sungguh segar. Udara tampak bersih dan sejuk, rindangnya pepohonan taman kota menambah suasana segar. Tidak terlihat sampah berserakan. Hangatnya cahaya matahari menghangatkan tubuhku. Namun, jalanan begitu sepi. Ya, karena negeriku sedang dilanda bencana, wabah virus yang tak henti menjadikan orang hidup menjadi mati.
Aku amati setiap orang di pagi itu. Semuanya memakai masker. Tidak ada yang mengobrol, berkumpul, bercerita atau bermain, sesekali aku melihat orang yang menyemprot-nyemprotkan antiseptik ke tangannya. Baiklah, aku rasa setiap orang mulai khawatir.
Aku pun mencari tempat duduk untuk beristirahat sejenak sembari ku hirup udara segar di pagi itu. Tanpa sengaja, aku melihat seorang laki-laki dewasa bersama dua anak-anak tanpa menggunakan masker. Terlihat mereka sedang mencari botol-botol plastik. “Mereka pasti pemulung”, ungkapku di dalam hati.
Dengan rasa penuh haru, aku pun menghampiri mereka. “Maaf Pak, kalo boleh tanya, anak-anak ini siapa?”
“Mereka anak-anak saya Pak.”
“Oh, anak-anak Bapak, mereka tidak sekolah Pak?”
“Saya tidak punya biaya untuk menyekolahkan mereka Pak.”
“Mohon maaf pak jika saya lancang, kalo boleh tau lagi, istri Bapak kerja apa Pak?”
“Istri saya juga, biasanya membantu saya mencari botol-botol plastik Pak. Namun, Ia telah meninggal dunia sejak 2 tahun yang lalu. Sekarang saya hanya tinggal dengan dua anak kami ini.”
Hatiku sungguh terenyuh mendengar si Pemulung itu mengatakan demikian. Tanpa berfikir panjang aku keluarkan dompetku dari saku celana. Ku ambil uang lima ratus ribu rupiah, lalu aku berikan kepadanya. Tak lupa, aku tanyakan alamat tempat tinggal mereka. Aku pun pergi meninggalkan mereka dengan langkah pelan sembari berfikir dan berkaca hati. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan waktu pukul 06.45 itu artinya 15 menit lagi jam kerja ku akan segera dimulai.
Aku pun masuk ke gedung bercatkan putih dimana setiap masyarakat menggantungkan harapannya kepada wakil mereka.
“Selamat pagi Pak.” Satpol PP itu menyapaku dengan lembut, namun tetap bersikap tegas, berdiri tegak lalu mengangkat tangannya menyentuh alisnya sebagai tanda penghormatan.
Di dalam ruangan, aku menunggu seluruh staf dan lembaga fungsional tiba. Setelah semuanya tiba di ruangan, kami pun memulai rapat kerja. Ditengah rapat, kepala dinas kesehatan menyampaikan laporan dan evaluasi kerjanya selama masa pandemi wabah virus. Kabar baiknya, Ia menginformasikan bahwa jumlah pasien yang terpapar virus 70% telah pulih, persentase angka kematian menurun tiap bulannya, lalu penyebaran wabah virus di kota kami menurun secara signifikan. Tentu saja, itu semua berkat kerjasama antara seluruh elemen masyarakat. Alhamdulillah, itu adalah kabar yang begitu menggembirakan bagiku secara pribadi sebagai kepala daerah di kotaku. Aku imbau kepada seluruh staf kerja supaya menyampaikan kabar baik ini kepada masyarakat.
Di tengah rapat pula, aku kembali menyampaikan kepada semua yang hadir, supaya seluruh masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan demi keselamatan dan demi usai sudahnya masa pandemi wabah virus yang melanda di negeri kami. Lalu, bantuan bagi masyarakat miskin dan masyarakat yang terdampak baik secara perekonomian maupun kesehatannya supaya dapat segera mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah.
Usai rapat, aku bercerita kepada kepala dinas Pendidikan Daerah soal si Pemulung tadi yang aku temui pagi hari. Aku ceritakan bahwa anaknya si Pemulung tidak sekolah karena tidak ada biaya.
“Saya minta tolong Pak, supaya Bapak dapat menugaskan kepada bawahan bapak untuk mendatangi rumah pemulung itu, apakah benar kondisinya miskin atau tidak. Jika benar ia keluarga miskin. Maka, tolong sampaikan kepadanya bahwa dinas pemerintah daerah melalui dinas pendidikan daerah akan segera membiayai sekolah anak-anaknya,” lalu kuberikan alamat si Pemulung itu.