Cerpen  

Cinta Sang Ibu

Karya: Ikhsan Ganda Saputra (Mahasiswa STKIP Muhammadiyah Kuningan)

Aku kayuh sepedaku menyelusuri jalur sepeda. Ku hirup udara kebahagian, serta angin yang mengelus lembut jari jemariku. Kulihat lalulalang kendaraan berhamburan, pepohonan rindang bergoyang berseri, menambah semangat dan kesejukan hati di pagi ini. Diameter jari-jari sepeda berputar menembus lorong-lorong waktu. Laju sepedaku seolah membawa pikiranku terbang ke masa lalu. Teringat masa itu, saat aku kecil dulu ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibu selalu mengantarku ke sekolah sambil membawa dagangan berupa gorengan, lemper, dan cilok untuk dijual dengan berjalan kaki berkeliling ke tiap-tiap sekolah dan rumah.

“Bu, betapa aku sangat mencintaimu. Bagaimana tidak Bu, engkau mencintai dan membesarkan aku sejak kecil. Aku merindukanmu Ibu,” ungkapku di dalam hati sembari lanjut bersepeda.

Kembali aku teringat masa lalu. Ketika itu Ayah sedang bekerja di pabrik gemblong kota Kuningan tempat kelahiranku dan tempat tinggal kami. Ibu sedang menemani ku belajar membaca dan menulis di rumah. Saat itu hujan cukup deras, jam kerja Ayah sudah selesai. Ayah ingin segera pulang ke rumah atas segala rindunya kepada anak dan istri. Tak hanya itu,  Ia pun membeli tahu lamping khas Kuningan yang masih panas untuk dibawa ke rumah agar disantap bersama dengan anak dan istri tercintanya.

Ayah pun segera memakai jas hujan plastiknya, bergegas pulang dengan menggunakan sepeda ontelnya seperti biasa. Ia nampak bahagia sekali karena akan segera berjumpa dengan anak dan istrinya. Saat sampai di perempatan jalan raya cijoho Kuningan kebetulan saat itu masih lampu hijau. Ayah pun mengayuh cepat sepedanya melintasi jalanan kota. Namun, motor bertenaga kuda dengan kecepatan tinggi menerobos lampu merah dari arah selatan. Tepat sekali dari samping kiri, motor itu menabrak Ayah yang bersepeda.

Baca Juga:  Rumah yang Istimewa

Sepeda Ayah terpental cukup jauh ke jalan, Ayah terhempas dari sepedanya. Tangan, bahu, kepala dan kakinya terbentur sangat keras dengan jalanan aspal. Darah mengalir dari belakang kepala, mata, tangan dan kaki. Saat kejadian itu, kami tidak pernah melihat lagi sosok Ayah yang selalu tersenyum ketika pulang, yang begitu lemah lembut, dan berkasih sayang.

Jika saja Ayah tidak wafat saat kejadian itu mungkin Ibu tidak akan seprihatin ini. Ibu kini menggantikan posisi Ayah sebagai kepala rumah tangga. Setiap hari kami hidup berdua karena Ibu sangat Cinta dan setia kepada mendiang almarhum Ayah. Ada beberapa orang yang datang ke rumah untuk melamar Ibu dari mulai duda sampai dengan bujang tua. Tapi, Ibu menolak dengan alasan ingin sepenuhnya mengabdi kepada Allah SWT, membesarkan ku sampai berhasil dengan keringatnya sendiri, dan penuh harap ingin berjumpa dengan sang Suami tercinta di Syurga.

Ibu bekerja keras membesarkanku, memenuhi kebutuhan kami mencari rezeki dengan berjualan makanan. Aku pun membantu Ibu berjualan, saat aku kelas 1 SMP sampai dengan SMA. Alhamdulillah, Tuhan memberikan kami kecukupan rezeki. Sampai aku kuliah Ibu masih tetap berjualan tapi, kini tidak berkeliling tiap-tiap sekolah dan rumah tetangga. Ibu membuka warung di rumah. Aku kuliah dengan mendapatkan program Bidikmisi. Tidak sia-sia rasanya aku belajar dengan kasih sayang Ibu disampingku.

Tingkat akhir kuliahku, aku mulai merasakan jatuh cinta terhadap lawan jenis. Tanpa sengaja kami bertemu dalam sebuah naungan organisasi BEM Universitas Kuningan. Walaupun kami berbeda fakultas. Aku fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Dia fakultas ekonomi. Karena seringnya kami bertemu dalam ruang organisasi, cinta kasih pun bersemi diantara kami. Aku jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunggu lama, aku perkenalkan Dia kepada Ibuku.

Baca Juga:  Semangat Berbagi di Masa Pandemi: Berjalan di tengah Kota

Dengan penuh kasih Ibu menyambut baik kedatangan kekasihku. Memberi restu kepada kami agar dapat menjalin kejenjang suci pernikahan. Kekasihku pun terlihat bahagia, kami berbincang dengan Ibu soal tunangan dan pernikahan. Setelah perbincangan selesai aku mengantarkan kekasihku pulang ke rumahnya. Saat aku akan balik kanan kekasihku mengatakan “Arif aku mencintaimu.”

Kata-kata yang singkat namun membuat aku dimabuk kepayang. Tak sabar aku menunggu momen-momen indah bersanding dengannya. Saat sampai di rumah, Ibu mengatakan sesuatu kepadaku “Ibu merestui siapapun calon istrimu, asalakan Dia beragama, cinta sama kamu, dan juga cinta kepada Ibu. Ibu doakan agar kamu kelak dapat hidup bahagia dengan keluargamu dan kita dapat bertemu kembali di Syurga.” Itulah seuntai kata yang Ibu katakan kepadaku.

Satu tahun penuh aku bersungguh-sungguh menyelesaikan studiku dan memperisapakan untuk bekal pernikahanku nanti. Saat sebelum wisuda, Ibu kecelakaan ketika hendak pergi ke pasar. Ia ditusuk oleh penjambret karena hendak melawan dan mempertahankan dompet yang dipeganginya ketika hendak dijambret. Dua penjambret itu kabur dengan satu motor yang mereka tumpangi. Tiga hari setelah kejadian itu, 2 pelaku penjambretan dapat ditemukan oleh pihak kepolisian. Mereka dijatuhi hukuman seumur hidup dengan pasal pembunuhan dan pencurian.

Wafatnya Ibu sangat mencabik-cabik hatiku. Tidak mungkin aku dapat hidup tanpa ada sosok Ibu didekatku, yang selalu setia menemaniku dalam setiap suka maupun duka, yang selalu berkorban untuk kehidupanku. Sungguh saat itu aku sangat berputus asa dalam hidup. Namun sosok sahabat sebangku kuliah selalu memberiku semangat. Dosenku pun tak lupa mengingatkan aku agar tetap semangat dalam hidup. Memberiku petuah nasihat agar aku tetap oftimis menjalani kehidupanku.

Ada yang mengganjal dalam hatiku, semenjak wafatnya Ibu, kekasihku tiada datang menemuiku. Bahkan ketika aku menangis di rumah sakit meratapi kepergian Ibu. Saat pemakaman Ibu pun Dia tidak datang. Berkali-kali aku menelepon nomor handphonenya namun nomor handphonenya tidak aktif. Aku coba menanyakan kepada sahabat-sahabat dekatnya namun mereka jawab tidak tahu.

Baca Juga:  Mina Chapter 4

Aku khawatir terjadi apa-apa dengan kekasihku itu. Akhirnya aku memutuskan untuk datang ke rumahnya. 60 km jarak tempuh ke rumahnya dari rumahku. Sesampainya disana hatiku berdebar cukup kencang, banyak orang memakai pakaian rapi di halaman rumahnya. Aku melangkah pelan, menyelinap disela-sela angin dingin yang menusuk hati. Aku dapati dia bersanding dengan tunangannya, mengenakan cin-cin dijari manisnya.

Aku tak menyangka bahwa ternyata Dia adalah wanita yang tidak setia, memilih harta dan tahta lelakinya daripada kesucian cinta tulus ku kepadanya. Berbekal nasihat dan doa Ibu serta luka yang mendalam. Aku pun pergi berhijrah ke kota Bandung untuk melupakan segala sakit di masa lalu dan membuka lembaran hidup baru. Hingga pada akhirnya aku menemukan sosok istriku yang lemah lembut, setia, beragama, dan mencintai aku juga keluargaku.

Kami pun hidup bahagia serta dikaruniai dua buah hati. Bersamaan dengan itu pula, aku mendengar kabar bahwa mantan kekasihku kini hidup menjanda sebatang kara. Ia diceraikan oleh suaminya karena didapati selingkuh dengan pimpinan perusahaannya.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *