Kuninganglobal.com — Senin pagi (16/12), ruang kelas SDN 17 Kuningan tampak lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ada lomba atau kunjungan pejabat, tapi karena sembilan mahasiswa Program Asistensi Mengajar, Prodi PGSD Universitas Muhammadiyah Kuningan resmi ditarik kembali ke kampus. Setelah tiga bulan, anak-anak yang semula datang penuh tanda tanya—“Siapa, sih, mereka ini?”—kini berpamitan dengan seragam yang terlihat lebih rapi dari hari biasanya.
Acara seremonial khas perpisahan itu berlangsung hangat. Yayan Haryadi, guru pamong yang jadi “orang tua kedua” selama program, berdiri tegak menyampaikan pidatonya. Formal tapi penuh rasa. Ia resmi menyerahkan kembali para mahasiswa ke pihak kampus dengan doa agar kesuksesan mengikuti mereka. Kalau diartikan ke bahasa sehari-hari, maksudnya: “Ya semoga sukseslah kalian jadi guru beneran.”
Imanudin, ketua kelompok mahasiswa, juga tak kalah berapi-api. Dengan nada yang hati-hati, ia memulai pidato dengan permintaan maaf—sebuah tradisi yang masih kuat. “Kalau ada salah-salah selama di sini, mohon dimaafkan. Tapi terimakasih, ya, Bu, Pak, sudah sabar membimbing kami.” Katanya, selama tiga bulan ini, mereka belajar banyak. Lebih banyak daripada yang diajarkan di kampus. Belajar memperbaiki diri. Belajar jadi calon pendidik.”
Sementara itu, Sri Kur’aeni Ahmad, salah satu guru yang hadir, memberikan wejangan khas senior yang sudah kenyang asam garam dunia pendidikan. “Semoga kalian berkembang di tempat lain, ya. Jadi guru beneran. Jangan kalah sama anak-anak kecil ini,” ucapnya sambil senyum simpul. Klasik, tapi mengena.
Giliran Yani Fitriyani, dosen pembimbing lapangan alias DPL, menutup sesi sambutan. Beliau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada pihak sekolah. Bukan sekadar formalitas. Lebih dari itu, ia menyisipkan harapan untuk tetap menjalin kerjasama di masa depan. Karena kampus, katanya, butuh sekolah. Dan sekolah, meski tak bilang terang-terangan, juga butuh anak-anak muda seperti mereka.
Tiga bulan jadi asisten guru bukan sekadar magang formalitas. Bukan pula sekadar mengajar satu-dua mata pelajaran. Lebih dari itu, di sanalah mereka belajar the real deal. Belajar memahami, kalau jadi guru itu tak sekadar berdiri di depan kelas dengan spidol di tangan. Tapi tentang berdedikasi. Tentang bertahan menghadapi anak yang bertanya hal-hal aneh. Tentang menginspirasi, walau kadang bikin suara habis.
Mereka pulang dari SDN 17 Kuningan bukan sebagai mahasiswa yang sama seperti saat datang dulu. Kini, mereka tahu sedikit tentang apa itu dedikasi. Sedikit tentang tanggung jawab. Dan sedikit—kalau belum bisa banyak—tentang menjadi calon pendidik yang sesungguhnya. (Gun)