Kuninganglobal —- SMP Negeri 7 Kuningan punya cara unik mengatasi “demam HP” di kalangan siswanya. Bukan sekadar razia atau ancaman surat peringatan, sekolah ini memilih pendekatan yang lebih cerdas dan mendidik.
“Kami sudah coba berbagai cara—razia HP, surat teguran, sampai ancaman sanksi. Tapi, anak-anak sekarang beda, Pak. Bukannya takut, malah makin jadi,” kata Kepala SMP Negeri 7 Kuningan, H. Supriadi, Sabtu (4/1). “Bahkan, ada yang diam-diam tetap buka situs terlarang. Kalau terus dibiarkan, orang tua dan sekolah sama-sama kewalahan.”
Dari data yang dimiliki sekolah, dari 1.128 siswa, hanya tiga yang tidak punya HP. Sisanya, ya… hidupnya nempel sama gadget. Sadar bahwa tren ini tidak bisa dilawan begitu saja, sekolah justru memanfaatkan HP untuk hal positif: absensi online.
Program ini dirancang sederhana tapi efektif. Siswa absen melalui aplikasi, dan orang tua bisa langsung memantau kehadiran anaknya lewat HP mereka masing-masing. “Orang tua jadi lebih tenang, tahu anaknya benar-benar ada di sekolah. Program ini juga dapat dukungan penuh waktu kami rapat dengan wali murid,” kata Supriadi.
Tapi, langkah ini bukan tujuan akhir. Setelah absen, HP siswa wajib dikumpulkan di loker khusus di depan meja guru. Loker itu dikunci oleh Ketua Murid (KM) kelas masing-masing. HP hanya bisa digunakan jika ada izin khusus dari guru untuk kegiatan belajar-mengajar.
Kenapa sampai perlu “loker HP”? Karena, menurut Supriadi, siswa zaman sekarang lebih sibuk dengan dunia maya ketimbang pelajaran. “Pas guru telat masuk kelas, mereka bukannya baca buku atau ngobrol dengan teman, malah asyik sendiri dengan HP,” ujarnya.
Lalu, ada tambahan aturan yang cukup unik: setiap HP yang dikumpulkan wajib ditempeli stiker password. Tujuannya? Guru bisa sewaktu-waktu mengecek isi HP tersebut. Bukan sekadar cari konten, ini juga upaya preventif supaya siswa sadar bahwa HP mereka bisa diawasi kapan saja.
“Awalnya ada protes, terutama dari siswa. Tapi setelah berjalan beberapa bulan, hasilnya positif. Siswa jadi lebih hati-hati. Kalau kedapatan menyimpan konten negatif seperti pornografi atau kekerasan, langsung kami panggil orang tuanya. Bahkan kami minta mereka buat surat pernyataan di atas materai,” kata Supriadi.
Surat pernyataan itu bukan main-main. Isinya: kalau siswa mengulangi pelanggaran, mereka siap menerima konsekuensi berat seperti tidak naik kelas atau bahkan tidak lulus.
“Alhamdulillah, metode ini berhasil. Guru jadi lebih mudah mengawasi, dan siswa lebih terkontrol. Konten-konten negatif berkurang drastis. Yang masih melanggar, langsung kami tindak tegas,” ujarnya.
Langkah ini, meski terkesan ketat, mendapat respons positif dari orang tua. Selain memberi rasa aman, pendekatan ini menunjukkan bahwa sekolah tidak sekadar melarang, tapi juga mendidik siswa tentang tanggung jawab dan batasan dalam menggunakan teknologi.
Kadang, yang dibutuhkan bukan sekadar aturan keras, tapi juga inovasi yang relevan dengan zaman. Dan SMP Negeri 7 Kuningan telah membuktikan, “kendalikan tanpa merampas” adalah cara jitu yang bisa diandalkan. (Gun)