Skip to content
Kuninganglobal —- Ruang Prodi PGSD UM Kuningan yang biasanya hening seperti hati yang habis patah, mendadak ramai. Bukan karena rapat akreditasi, bukan pula karena sidak mendadak dari rektorat. Tapi karena satu hal yang lebih sakral dari semua itu, yakni botram, Selasa (15/4/2025)
Botram ini bukan sekadar ajang makan-makan. Ini adalah manifesto keakraban, solidaritas, dan percaya atau tidak respon akademik terhadap inflasi global. Ya, betul. Dunia sedang kacau. Amerika dan China sibuk main catur dagang, sementara dosen PGSD mengambil langkah strategis, bawa lauk masing-masing dan duduk melingkar. Karena ketika dunia menggila, kita butuh sambal terasi dan obrolan santuy.
Dimulai dari diskusi receh di grup WhatsApp dosen homebase PGSD yang biasanya penuh share info seminar dan link jurnal, tiba-tiba bertransformasi jadi panggung gagasan besar. “Yuk kita ngumpul sambil makan liwet,” kata salah satu dosen. Maka berkumpullah mereka. Sebagian bawa tahu dengan ragam macamnya, gorengan bala-bala, jengkol goreng, dan sebagian lagi bawa senyum dan perut kosong.
Ternyata benar, dari obrolan ringan yang digelar santai di ruangprodi, muncul ide-ide besar untuk memajukan PGSD. Visi disatukan, strategi disusun, dan tentu saja, tupperware dikosongkan. Ada yang bercerita tentang rencana riset kolaboratif, ada pula yang merenung soal peran PGSD di tengah perubahan zaman. Tapi semua itu dibalut tawa, gurauan, dan aroma nasi liwet.
Acara ini sekaligus jadi ajang syawalan pasca Idul Fitri 1446 H. Peluk-peluk kecil, maaf-maafan, dan saling ejek khas dosen PGSD mencairkan suasana. Tidak ada sekat senior-junior, apalagi jabatan, semua larut dalam rasa “aku kamu kita jadi satu”.
Kalau ada yang bilang dosen itu kaku dan terlalu akademik, silakan mampir ke ruang Prodi PGSD. Di sana, visi masa depan dan sambel geprek bisa berdampingan damai. Karena di balik gelar akademik, mereka tetap manusia yang lapar, baik akan makanan maupun perubahan. (Gun)
